Kemolekan Pulau Sagori,
Kabaena, Sulawesi Tenggara, kerap dinikmati oleh turis mancanegara sebelum
tragedi bom Bali Oktober 2002. Pulau itu menyimpan misteri, antara lain
seringnya kapal karam. Pantas banyak yang menyebutnya Segitiga Bermuda di
Kabaena.
Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.
Pulau Sagori di Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana, itu merupakan karang atol berbentuk setengah lingkaran. Pulau tersebut tak lebih dari onggokan pasir putih dengan panjang sekitar 3.000 meter dan pada bagian tengah yang paling lebar, 200 meter.
Wisatawan asing biasanya singgah di pulau itu dengan kapal pesiar setelah mengunjungi sejumlah obyek wisata di Kabupaten Buton dan Muna. Di Sagori mereka berjemur di atas pasir putih sambil menunggu bola matahari yang perlahan meredup saat hendak terbenam. Seusai menyaksikan gejala alam yang mengagumkan itu mereka pun melanjutkan perjalanan.
Sagori sebetulnya lebih
menarik jika dilihat dari pegunungan di Pulau Kabaena. Dari ketinggian jarak
jauh itu Sagori menampilkan sapuan empat warna, yakni biru tua sebagai garis
terluar, biru muda, garis putih, kemudian hijau di tengah. Warna hijau
bersumber dari tajuk-tajuk pohon cemara yang melindungi pulau tersebut.
Jarak terdekat dengan daratan
Kabaena sekitar 2,5 mil. Namun, pengunjung biasanya bertolak dari Sikeli, kota
pelabuhan di Kecamatan Kabaena Barat, dengan jarak sekitar empat mil atau
sekitar 30 menit dengan perahu motor. Sagori merupakan wilayah Kelurahan
Sikeli.
Kata ”sagori” konon diambil
dari nama seorang gadis yang ditemukan warga Pongkalaero–kini sebuah desa di
Kabaena —pada saat air surut tak jauh dari pulau itu. Gadis itu diceritakan
menghuni kima raksasa yang terjebak karena air surut.
Saat ditemukan, gadis tersebut
dalam keadaan lemah tak berdaya. Para pemburu hasil laut kemudian
menggendongnya ke sebuah onggokan pasir sebelum dibawa ke mokole (raja) di
Tangkeno di lereng Gunung Sangia Wita, puncak tertinggi (1.800 meter) di
Kabaena.
Namun, setelah beberapa saat
diistirahatkan di onggokan pasir, gadis tersebut meninggal dunia. Sebelum
meninggal ia sempat menyebut namanya, Sagori. Sejak itu penduduk menamakan
onggokan pasir itu Pulau Sagori.
Kuburan
kapal
Keindahan Sagori di atas
permukaan sangat kontras dengan kondisi alam dasar laut di sekitar pulau
tersebut. Belantara batu karang yang terhampar di kawasan perairan pulau itu
menyimpan misteri yang menyulitkan para pelaut, bahkan tidak jarang membawa
petaka yang amat menakutkan.
Seperti diungkapkan beberapa
tokoh masyarakat suku Sama (Bajo) di Kabaena, karang dan perairan Pulau Sagori
hampir setiap dua tahun menelan korban berupa kapal pecah karena menabrak
karang maupun korban manusia yang dibawa hanyut gulungan ombak pantai pulau
tersebut.
Musim libur tahun lalu,
misalnya, seorang siswa SMA Negeri 1 Kabaena tewas dihantam ombak yang datang mendadak
saat dia bersama sejumlah temannya mandi-mandi di pantai. Sebelumnya, seorang
ibu mengalami nasib serupa tatkala sedang mandi-mandi di sana.
Menjelang Lebaran lalu, sebuah
kapal kayu kandas kemudian tenggelam di perairan pulau itu saat kapal dalam
perjalanan dari Sikeli menuju Jeneponto, Sulawesi Selatan. Tidak ada korban
jiwa, kecuali kapal tak dapat diselamatkan.
Dua tahun sebelumnya
kecelakaan menimpa sebuah kapal dalam perjalanan dari Bulukumba (Sulsel) menuju
Maluku dengan muatan sembako dan bahan bangunan.
”Tidak bisa dihitung lagi
jumlah kapal yang terkubur di dasar laut Sagori,” ujar Uja’ (60), nelayan
Sikeli dari suku Bajo.
”Kuburan” tersebut termasuk
rongsokan kapal layar VOC dan kapal yang diperkirakan berasal dari China di
kedalaman sekitar 13 meter saat air surut. Subair (57), Kepala SMP Negeri
Sikeli, menemukan kapal tersebut pada 1973. ”Saya yakin itu kapal China karena
masih menyimpan harta karun berupa piring antik dan gerabah lainnya,” katanya.
Menurut Subair, kecuali barang
pecah belah, petunjuk lainnya adalah simbol-simbol China pada kapal maupun
gambargambar naga yang terukir jelas.
Cerita seputar Pulau Sagori
mirip Segitiga Bermuda (Bermuda Triangle) di Lautan Atlantik. Sagori juga
menjadi kuburan bagi kapal-kapal yang berlayar mendekati pulau yang terletak
2,5 mil arah barat daya Pulau Kabaena itu.
Perairan Segitiga Bermuda
terbentuk oleh garis (lurus) imajiner yang menghubungkan tiga titik,
masing-masing di Pulau Bermuda, Miami (AS), dan Puerto Rico. Di wilayah
perairan segitiga itulah dunia selalu dikejutkan denngan hilangnya sejumlah
kapal bersama penumpang dan awaknya tanpa bekas. Bahkan, pesawat terbang juga
kerap kali hilang misterius di atas perairan itu tanpa bisa dideteksi. Karena
itu, Segitiga Bermuda dikenal sebagai ”Kuburan Atlantik”.
Tragedi
kapal VOC
Kecelakaan laut terbesar di
Sagori terjadi pertengahan abad ke-17 yang menimpa lima kapal milik VOC
(Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Kerajaan Belanda di Asia
Timur yang beroperasi di Nusantara untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Kelima kapal itu bersamaan menabrak karang dalam perjalanan iring-iringan dari
Batavia menuju Ternate (Maluku Utara).
Informasi agak lengkap tentang
peristiwa empat abad silam itu dipaparkan Horst H Liebner, tenaga ahli bidang
budaya dan sejarah bahari pada Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen
Kelautan dan Perikanan, saat mengikuti Simposium Internasional Pernaskahan
Nusantara IX di Bau-Bau, 5-8 Agustus 2005 lalu.
Menurut Liebner, peristiwa
kandasnya kelima armada VOC di karang Pulau Sagori pada 4 Maret 1650 itu amat
menarik untuk diteliti lebih mendetail. Namun, dia mengaku belum sempat membaca
keseluruhan naskah catatan harian awak kapal tersebut.
Kelima kapal layar Belanda itu
adalah Tijger, Bergen op Zoom (berdaya angkut 300 ton), Luijpaert (320 ton), De
Joffer (480 ton), dan Aechtekercke (100 ton). Data daya angkut Tijger yang
bertindak sebagai kapal komando tak disebutkan oleh Liebner. Seluruh penumpang
(581 orang) dapat diselamatkan. Mereka terdiri dari awak kapal, serdadu, dan
saudagar.
Malapetaka tersebut sangat
menyengsarakan seluruh penumpang yang terancam kekurangan perbekalan. ”Kami
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kami masih dapat menyelamatkan
sedikit beras yang kering,” tutur Liebner mengutip jurnal yang ditulis salah
seorang awak kapal.
Lokasi kecelakaan merupakan
daerah asing bagi para pelaut Belanda maupun dunia pelayaran umumnya di zaman
itu. Pulau Kabaena yang terdekat dengan lokasi musibah, dalam laporan disebut
Pulau Comboina.
Penduduk setempat yang datang
ke lokasi pada dasarnya bukan bermaksud menolong, tetapi menjarah seandainya
tak dicegah oleh awak kapal. Penduduk yang dilukiskan sebagai ”orang hitam”
diartikan Liebner sebagai etnis Sama (Bajo) yang mendiami pesisir Pulau
Kabaena.
Hal itu dibenarkan tokoh Bajo
H Djafar alias Nggora (80-an). ”Orang Bajo datang membantu sambil mengambil
kain untuk bahan pakaian,” tuturnya mengutip tradisi lisan masyarakat Bajo
seputar kecelakaan lima kapal VOC 400 tahun silam itu.
Setelah menjelang seminggu
hidup di Pulau Sagori tanpa tanda-tanda kemungkinan adanya pertolongan,
pimpinan pelaut Belanda memutuskan mengirim sebuah sekoci ke Ambon untuk
melaporkan kecelakaan itu kepada Laksamana de Vlamingh.
Mereka juga berusaha membuat
sendiri kapal menggunakan bahan-bahan dari kapal yang telah pecah berantakan.
Awak kapal menyelamatkan barang dagangan dan 87 pucuk meriam.
Kapal hasil rakitan yang
kemudian diberi nama Trostenburg (benteng pelipur lara) itu diluncurkan awal
Mei, hampir bersamaan datangnya kapal bantuan pada 7 Mei 1650 yang dikirim atas
perintah de Vlamingh. Kedatangan kapal bantuan itu sangat terlambat karena
terhalang angin barat yang saat itu bertiup kencang.
Tragedi segera berakhir ketika
semua awak kapal bersama muatan dan meriam diangkut ke Batavia. Bangkai kapal
tersebut kini masih tergeletak pada kedalaman sekitar lima meter di dasar laut
Pulau Sagori. ”Mesin dan baling-balingnya masih ada,” tutur Uja’.
Jadi dengan adanya misteri - misteri tersebut, kita sebagai siswa siswi SMAN 1 GEGER harus bisa mengambil hikmah dan lebih bersyukur kepada ALLAH SWT.
Jadi dengan adanya misteri - misteri tersebut, kita sebagai siswa siswi SMAN 1 GEGER harus bisa mengambil hikmah dan lebih bersyukur kepada ALLAH SWT.
0 comments:
Post a Comment
=== Diperbolehkan berkomentar asal tidak menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras, Golongan) dan harus sesuai dengan tata krama ===
Ttd
Admin